Minggu, 30 Januari 2011

Budi Daya Rumput Laut bagi Nelayan

ANOMALI cuaca yang melanda Indonesia belakangan ini, membuat Metusalach, Profesor Jurusan Perikanan Universitas Has-sanudin Makassar, khawatir. Penduduk Sulawesi Selatan, terutama yang tinggal di Kepulauan Pangkajene (Pangkep), masih mengandalkan melaut sebagai mata pencaharian utama mereka. Keabnormalan cuaca tentunya menutup jalur mereka mencari nafkah sebagaimana ombak laut juga sering kali tinggi dan disertai angin kencang.kabupaten Pangkajene kepulauan (Pangkep) sendiri merupakan salah satu kabupaten di Propinsi Sulawesi Selatan meliputi 117 pulau dan 12 kecamatan yang berada di pesisir barat Sulawesi Selatan dengan ketinggian antara 0 hingga 1.000 meter di atas permukaan laut. Pulau ini bisa dicapai dari kota Makassar dengan menggunakan perahu dengan waktu tempuh 30 menit. Penduduk di kabupaten ini mayoritas menyambung hidup dari perikanan serta pertanian.

Menengarai persoalan itu, bersama dengan Dinas Pendidikan subdivisi Departemen Pendidikan Formal dan Informal Kota Makassar, Metusalach meng-galakkan program pemberdayaan masyarakat (atau disebut kewirausahaan wilayah desa) melalui budi daya rumput laut ke masyarakat daerah pesisir dan kepulauan. Tahun lalu mereka mulai melakukan pendekatan kepada warga di Kepulauan Pangkajene (Pangkep) di Sulawesi Selatan untuk melakukan budi daya rumput laut sebagai pekerjaan altematif dari menangkap ikan.


"Saya bilang ke mereka, kalau tidak bisa turun ke laut akibat cuaca buruk bukan berarti tidak bisa sama sekali turun ke laut. Masih bisa belajar budi daya rumput laut dan dapat uang. Rumput laut sendiri merupakan salah satu komoditas perdagangan Indonesia karena permintaannya sangat tinggi," kata Metusalach.

Pemberdayaan budi daya rumput laut itu sebenarnya sudah sering diusulkan, namun para pengambil kebijakan kurang tertarik. Sebelum dinas pendidikan kota Makassar tertarik untuk ikut serta, dia berusa- Iha sendiri mencari sponsor modal untuk program budi daya tersebut.

"Keberhasilan budi daya rumput laut di Kota Parigi Moutung dan Sangihe membuka mata pemerintah daerah. Akhirnya sekarang sudah ada MoU dengan pemerintah daerah. Mereka tertarik untuk mengembangkan budi daya rumput laut sebagai alternatif penghasilan nelayan. Minimal lima tahun ke depan anggaran untuk pembibitan sudah ada."

Ia selanjutnya mengatakan ketika pertama kali ditawarkan kepada warga Kepulauan Pangkep, hanya 22 kepala keluarga yang antusias. Untungnya, ketua komunitas adat setempat juga mendukung. Misalnya di Pulau Sabutung, Desa Mattiro Kanja, Kecamatan Liukang Tuppabiring Utara, ketua badan permusyawaratan desa langsung ikut ambil bagian dalam sosialisasi budi daya rumput laut.

Untuk budi daya rumput laut ini digunakan bibit rumput laut jenis cottoni dengan masa penanaman hingga 40-50 hari. Waktu tersebut dinilainya cukup singkat karena hasil jualnya juga lumayan. Rumput laut jenis cottoni jika dijual bisa mencapai Rp8.000 hingga Rp 10.000 per kg dan Rp8 juta hingga Rp 10 juta per toa

Sekali panen satu nelayan bisa menghasilkan 70 kg, sedangkan modal yang dibutuhkanRp 1,3 juta per ton bibit. Dengan jumlah keuntungan tersebut, katanya, tanpa melaut pun para nelayan sudah bisa menghidupi keluarga.

".Akibat budi daya rumput laut, banyak nelayan yang sudah berubah statusnya, dari buruh ikan menjadi pengusaha budi daya rumput laut. Kalau dulu masih utang sana sini, sekarang sudah bisa bangun rumah."

Keuntungan budi daya rumput laut ini juga tampaknya tidak hanya menyasar sang nelayan. Istri dan anak nelayan pun ikut mendapat imbasnya karena sudah membantumengikatkan rumput laut ke bentangan tali dan me-rawat rumput laut. Sedangkan sang suami menanam rumput laut di pesisir pantai Semua pihak, baik nelayan, istri, dan anak, akan mendapat biaya dari proses kerja sama itu.

"Biasanya mengikat tali dibayar Rp40 ribu-Rp60 ribu per 20-30 bentangan. Kerja sama ini menyebabkan berkurangnya tingkat pengangguran dalam keluarga. Ibu-ibu itu jadi punya pekerjaan daripada bergosip," katanya sembari tertawa.

Ia mengatakan budi daya . rumput laut juga bisa diterapkan di daerah pesisir lain di Indonesia, terutama menengarai banyaknya nelayan yang menganggur akibat tidak bisa melaut. Memang ada beberapa persyaratan yang mesti dipenuhi agar budi daya rumput laut berjalan maksimal, misalnya laut yang muaranya keruh tidak bagus untuk budi daya rumput laut atau juga perairan yang berombak baik untuk budi daya rumput laut. Meski demikian, umumnya daerah pantai di Indonesia memiliki potensi untuk mengembangkan budi daya rumput laut jika pemerintah daerahnya tertarik.

"Satu hal yang pasti. Tak hanya bermanfaat bagi penduduk, budi daya rumput laut juga berdampak bagus untuk ekosistem pesisir pantai. Terumbu karang jadi ndak rusak. Para nelayan juga bisa diberikan pengetahuan agar tidak menangkap ikan dengan bom karena akan merusak karang yang berarti mematikan usaha budi daya rumput laut mereka."

Salah satu yang perlu diperhatikan dalam pembudidayaan rumput laut adalah pengelolaan lembaga keuangan mikro secara maksimal di tiap pulau untuk menjembatani para nelayan yang ingin meminjam modal untuk berusaha. Tak perlu khawatir masalah pemasarannya. Tingginya permintaan rumput laut, baik untuk ekspor dan impor, menyebabkan pihak industri akan menjemput bola ke pihak nelayan.

"Permintaan pasar 340 ribu ton rumput laut, sedangkan baru diproduksi 170 ribu ton, itu juga sebagian diimpor. Kita masih defisit hasil rumput laut," katanya.

Tersentuh Masyarakat Kepulauan

Salah satu hal unik dari profesor yang murah tawa ini adalah dia mabuk hanya jika di daratan. Ketika mengunjungi pulau-pulau di Kepulauan Pangkep dengan menggunakan perahu kecil, wajah lelaki ini selalu menunjukkan kebahagiaan seperti layaknya anak-anak yang bermain di bawah guiiran hujan deras meskipun saat itu ombak menggoyang badan perahu. Sementara mereka yang ndak terbiasa langsung memucat pasi wajahnya.

Saya memang tidaktahan di daratan, naik mobil atau kendaraan kalau tidak setir sendiri, selalu mabuk," kata pria yang senang memakai topi dan berambut gondrong ini sembari tertawa.

Ia bercerita kegiatannya menekuni perikanan bermula ketika duduk di bangku sekolah menengah pertama (SMP) di kota kelahirannya, Mamasa. Saat itu, ia senang sekali memelihara ikan mas koki. Favoritnya yang berwarna merah. Saking senangnya, ia berniat untuk menekuni sekolah perikanan sampai tuntas.

"Saya tanya paman, ada tidak belajar tentang ikan? Paman sarankan saya masuk perguruan tinggi jurusan perikanan dan di sinilah saya berada sekarang."

Rupanya keinginan itu bukan sekadar angin lalu. Lulus dari SMAN 2 Makassar, dia meneruskan kubah di Universitas Hassanudin Makassar mengambil jurusan Perikanan. Belum lengkap, ia meneruskan kembali kuliahnya hingga S3 dengan bantuan beasiswa dari Canada International Development Agency (CIDA), sebuah lembaga kerja sama pendidikan Indonesia-Kanada. Lagi-lagi menekuni profesi di bidang perikanan.

"Keinginan saya untuk mengabdikan diri pada masyarakat kepulauan ada ketika suatu waktu saya berkunjung ke Kepulauan Pangkajene. Di sana saya sadar bahwa masyarakat daerah kepulauan sebenarnya punya potensi luar biasa terutama daerah alamnya untuk berkembang, namun sering kali luput dari perhatian."

Oleh karena itu, ia selalu menekankan kepada mahasiswa yang diajarkannya kini untuk menomorsatukan keselamatan konsumen. "Jangan sampai menggembar-gemborkan industri perikanan tetapi produknya membahayakan konsumen. Itu yang ironisnya banyak terjadi di Indonesia saat int"


Sumber = Jurnal Nasional

Tidak ada komentar:

Posting Komentar